Nice DAy and welcome to myBLog†

Translate


Rini Si Ayam Kampus

Written by Pythagoras 0 comments Posted in:

Malam itu seusai rapat organisasi, aku segera menstart motorku untuk pulang. Rasanya pengin sekali segera sampai di rumah, makan, lalu tidur. Tetapi baru saja sampai di gerbang depan kampus seseorang menyapaku, dan ketika aku toleh arah suara itu ternyata Rini, anak fakultas ekonomi. Ngapain anak ini sendirian di gerbang?†
“Belum pulang, Rin?”
“Belum Den, habis nungguin bis lewat, lama amat.” Jawabnya sambil berkedip-kedip genit.
“Bis lewat ditungguin, gue antar deh?”
“Bener situ mau nganterin?”
“Yah, pokoknya nggak gratis. Situ tau sendiri deh.” Ujarku menggoda.
“Ah, bisa aja.”
Rini mencubit kecil pinggangku lalu segera naik ke boncengan. Tangannya melingkat erat di pinggangku, lalu melajulah motor di ramainya jalanan. Lama-kelamaan si Rini malah menempelkan dadanya di punggungku. Tau nggak, rasanya benar-benar empuk dan hangat. Wuih, terasa bener kalau dia nggak pake beha. Sebagai laki-laki normal, wajar dong kalo batang penisku tiba-tiba menegang.
“Den, gimana kalo kita mampir ke taman kota? Aku dengar ada dangdutan di sana.” Bisik Rini dekat di telinga kiriku.
“Seleramu dangdut juga ya?”
Rini kembali mencubit pinggangku, tapi kemudian mengelus-elus dadaku. Tengkukku mulai merinding. Ada maunya nih anak, pikirku waktu itu. Mungkin aku sedang dihadapkan salah satu ayam kampus, nih. OK, siapa takut!
Aku segera membelokkan sepeda motor ke taman kota. Lalu mencari tempat yang agak remang tapi cukup strategis untuk menikmati isi panggung yang terletak di tengah taman kota itu. Panggung yang kira-kira berukuran 6×6 meter itu tampak meriah dikelilingi ratusan pengunjung. Irama dangdut menggema memekakkan telinga.
“Den, sini dong? Sini, duduk sama aku.”
Aku duduk di belakang Rini yang masih duduk di boncengan motorku. Gadis itu nampaknya asyik benar mengikuti irama dangdut. Sedang aku lebih tertarik memelototi tubuh penyanyinya dibanding suaranya yang menurutku biasa saja.
Beberapa orang penyayi bergoyang hot membangkitkan gelora birahi para pria yang memandangnya, termasuk aku. Pandanganku beralih kepada Rini. Sayang aku hanya bisa memandang ubun-ubunnya saja. Aroma wangi menebar dari rambutnya yang bisa dibilang bagus, aroma yang eksotik. Kalau saja ada kesempatan, desahku.
“Den, kok diam saja? Belum pernah lihat orang goyang ya?”
“Bukannya gitu, cuman gila aja mandang tuh cewek. Berani bener joget kayak gitu,”
“Ah, segitu saja. Coba kemarikan tanganmu!”
Aku mengulurkan tangan kananku. Astaga, gadis itu memasukkan tanganku di balik bajunya sehinga tanganku benar-benar bisa merasakan kegemukan dadanya. Keringat dinginku tiba-tiba merembes, dadaku bergemuruh.
“Rin, apa-apaan kamu ini?” Ujarku lirih tanpa menarik kembali tanganku.
“Kamu nggak suka ya?” Tanya Rini kalem.
“Engh.. Bukannya begitu..anu” Jawabku tergagap.
“Aku tau kamu suka. Aku juga suka Den, jadi nggak ada masalah kan?” Kata Rini menoleh ke padaku.
“I..iya sih.”
Yah, begitulah. Akhirnya aku punya kesempatan. Tanganku membelai-belai dada Rini dengan bebasnya. Mempermainkan putingnya dengan gemas, kupelintir kesana kemari. Gadis itu bukannya kesakitan, tapi malah mendesah-desah kegirangan. Aku sendiri sudah nggak tahu berapa kali menelan ludah. Rasanya ingin memelintir puting itu dengan mulutku. Rupanya tangan kiriku mulai iri, lalu segera menyusul tangan kananku menerobos masuk di balik baju Rini. Meremas-remas kedua bukit yang tak terlihat itu.
“Den, Deni.. tangan-tanganmu benar-benar nakal. Hoh.. aduh.. geli Den,” Desah Rini menjambak rambutku yang cukup gondrong.
“Rin, aku suka sekali.. bagaimana kalau kita..”
“Uhg.. heeh, iya.. aku mau.”
Aku segera menghentikan kegiatanku mengobok-obok isi baju Rini. Lalu kami segera menuju sebuah hotel yang tak jauh dari taman kota. Tiada kami peduli dengan beberapa pasang mata yang memandangi kami dengan sejuta pikiran. Masa bodoh, yang penting aku segera bisa mengencani Rini.**
Segera aku bayar uang muka sewa kamar, lalu kami melenggang ke kamar 51. Rini yang sedari tadi memeluk tubuhku kini tergeletak di atas springbed. Matanya yang sayu bagai meminta, tangannya melambai-lambai. Aku langsung saja membuka kancing bajuku hingga bertelanjang dada.
“Den.. sudah lama aku inginkan kamu,”
“Oya? Kenapa tak bilang dari dulu?” Ujarku sambil melepas kancing baju Rini.
Benarlah kini tampak, dua bukit kenyal menempel di dadanya. Tangan Rini membelai-belai perutku. Rasanya geli dan uh.. lagi-lagi aku merinding. Kutekan-tekan kedua putingnya, bibir gadis itu mengulum basah. Matanya yang semakin memejam membuat birahiku semakin terkumpul menyesakkan dada.
“Den.. ayo.. kamu tak ingin mengulumnya? Ayo masukkan ke mulutmu.”
“Heh.. iya, pasti!”
Aku segera mengangkangi Rini lalu berjongkok diatasnya, lalu menunduk mendekati dadanya. Kemudian segera memasukkan bukit kenyal itu ke dalam mulutku. Aku hisap putingnya perlahan, tapi semakin aku hisap rasanya aku pingin lebih sehingga semakin lama aku menghisapnya kuat-kuat. Seperti dalam haus yang sangat. Ingin rasanya aku mengeluarkan isi payudara Rini, aku tekan dan remas-remas bukit gemuk itu penuh nafsu. Rini merintih-rintih kesakitan.
“Den.. hati-hati dong, sakit tahu! Perlahan.. perlahan saja Ok? Heh.. Yah, gitu.. eeh hooh..”
Busyet, baru menghisap payudara kiri Rini saja spermaku sudah muncrat. Batang penisku terasa berdenyut-denyut sedikit panas. Rini bergelinjangan memegangi jeans yang aku pakai, seakan ingin aku segera melorotnya. Tapi aku belum puas mengemut payudara Rini. Aku pingin menggilir payudara kanannya. Tapi ketika pandanganku mengarah pada bukit kanan Rini, wuih! Bengkak sebesar buah semangka. Putingnya nampak merah menegang, aku masih ingin memandanginya. Tapi Rini ingin bagian yang adil untuk kedua propertinya itu.
“Ayo Den, yang adil dong..” Katanya sambil menyuguhkan payudara kanannya dengan kedua tangannya.
Aku memegangi payudara kanan Rini, mengelusnya perlahan membuat Rini tersenyum-senyum geli. Ia mendesah-desah ketika aku pelintir putingnya ke kanan dan ke kiri. Lalu segera mencomot putingnya yang tersipu dengan mulutku. Puting itu tersendal-sendal oleh lidahku.
“Deni.. dahsyat banget, uaohh.. enak.. ayo Den.. teruss..”
Rini menceracau tak karuan, tangannya menjambak-jambak rambut gondrongku. Kakinya bergelinjang-gelinjang kesana kemari. Binal juga gadis ini, pikirku. Aku berpindah menyamping, menghindari sepakan kaki Rini. Jangan sampai penisku terkena sepakan kakinya, bisa kalah aku nanti. Justru dengan menyamping itulah Rini semakin bebas. Bebas membuka resleting jeans yang dipakainya. Tapi dasar binal! Gerakannya yang tak karuan membuat kami berguling jatuh di lantai kamar. Dan payudara kanannya lolos dari kulumanku.
“Gimana sih, Rin? Jangan banyak gerak dong!” Ujarku sedikit kesal.
“Habis kamu ganas banget sih..” Hiburnya dengan tatapan menggoda.
Untuk mengobati kekesalan hatiku Rini segera membuka semua pakaiannya tanpa kecuali. Jelaslah sudah tubuh mungil Rini yang mempesona. Air liurku segera terbit, inginnya mengganyang tubuh mungil itu.
Tubuhnya yang meliuk-liuk semampai, dua payudaranya yang nampak ranum bengkak sebesar buah semangka, perutnya yang langsing bagai berstagen tiap hari, ahh.. Lalu, bagian kewanitaannya! Uhh, pussy itu cukup besar dengan bulu-bulu basah yang menghiasinya. Pahanya yang sekal membuatku ingin mengelusnya, dan betisnya yang mulus nan langsat.. ehmm.. Maka dengan tergesa-gesa aku melucuti pakaianku, tanpa terkecuali!
“Wah! Pistolmu besar Den!” Kata Rini yang segera berjongkok dan meremas gemas batang penisku yang sudah sangat tegang.
“Auh.. jangan begitu, geli kan?” Jawabku menepis tangannya.
“Jangan malu-malu, pistol sebesar ini, pasti ampuh.”
Rini terus saja membelai-belai batang penisku yang ukurannya bisa dibilang mantap. Semakin lama batang penisku semakin menegang, rasanya mau meledak saja. Tubuhku bagai tersiram air hangat yang kemudian mengalir di setiap sendi darahku.
“Engh, auh..” Aku berdehem-dehem asyik saat Rini asyik memainkan jemari tangannya pada batang penisku.
Telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran yang kemudian digerak-gerakkan keluar masuk batang penisku. Layaknya penisku bermain hula hop. Spermaku mencoba meyeruak keluar, tapi aku tahan dengan sekuat tenaga. Aku remas-remas rambut panjang Rini.
Tapi kemudian Rini yang semakin gemas segera memasukkan batang keperkasaanku itu ke dalam liang mulutnya. Lalu dia mengemutnya bagai mengemut es lilin.
“Ehg.. ehmm.. ”
Terdengar suara desisan Rini bagai sangat menikmati batang penisku, begitupun aku. Bagaimana tidak, bibir tebal Rini segera melumat kulit penisku, lalu lidah Rini menjilat-jilat ujungnya. Nafasku serasa putus, keringatku merembes dari segala arah. Sedang Rini bagai kesetanan, terus saja menciptakan sejuta keindahan yang siap diledakkan.
Crot.. crot.. Tak ada yang bisa menahannya lagi. Spermaku keluar menyembur ke liang mulut Rini. Gadis itu nampak sedikit tersedak, beberapa sperma muncrat keluar mulutnya dan kemudian membasahi pangkal penisku.
“Ehmm.. ehmm.. keluarkan teruss.. ehmm,” Ujar Rini dengan mulut yang penuh dengan cairan spermaku.
Srup, srup, ia meminumnya dengan semangat sambil tangannya menggelayut di pahaku. Ujung penisku dikenyot-kenyot membuat geloraku makin berdenyut-denyut.
Karena tak tahan maka tak ayal lagi aku segera menubruknya. Menindih tubuh mungilnya lalu melahap bibir nakalnya. Lidah kami bergelut di dalam, menggigit-gigit gemas dan penuh nafsu. Tak peduli Rini merintih-rintih. Entah karena aku terlalu rakus mengganyang bibirnya, atau berat menahan tindihanku. Yang pasti rintihan Rini terdengar sangat merdu di telingaku.
Maka setelah puas mencumbui bibirnya aku segera beralih kepada pussy-nya. Benda keramat itu entah sudah berapa kali kebobolan, aku tak peduli. Kali ini ganti kau yang kukerjain, pikirku.
Langsung saja aku lebarkan paha Rini sehingga jelas pussy berumput yang sangat basah itu. Jemariku memainkan daging gemuk itu. menyusuri perbukitan yang berlorong. Lalu memelintir klitorisnya ke kanan dan ke kiri. Surr.. menyembur lagi cairan kewanitaan Rini. Bening menetes diantara jemariku.
“Den.. tunggu apa.. ayo dong..”
“Aku datang sayang.”
Wajahku segera mendekat ke pussy Rini. Lalu tanganku sedikit membuka si pussy sehingga aku bisa menikmati goa kenikmatan itudengan mataku walau hanya sebentar. Srup, srup, aku jilati pussy basah itu. Lidahku sengaja mencari-cari lubang yang mungkin bisa kutembus. Lidahku semakin ke dalam. Mempermainkan klitorisnya yang kenyal. Tanganku pun menyempurnakan segalanya. Bermain-main di payudara Rini yang semakin tegang, mengeras. Sayup-sayup terdengar suara erangan Rini. Aku harap gadis itu juga menikmatinya.
“Ayouhh Den, masukk, aku tak tahan lagi..”
Suara gadis itu terdengar lemah, mungkin sudah keletihan. Aku pun sudah cukup puas beranal ria. So, tunggu apa lagi?? Aku meminta Rini untuk menungging. Gadis itu menurut dengan wajah letih namun penuh semangat. Kemudian aku segera memasukkan penisku ke lubang kawinnya. Mudah. Sekali hentakan sudah masuk. Lalu kucabut dan kumasukkan berkali-kali. Lalu kubiarkan terbenam di dalam beberapa menit.
“Eghh..” Rini menahan rasa nikmat yang kemudian tercipta.
Tubuhnya sedikit mengejang tapi kemudian bergoyang-goyang mengikuti gerakan penisku. Aku segera mengocok penisku dengan kekuatan penuh. Dan kemudian.. kembali spermaku muncrat keluar memenuhi lubang kawin Rini.
Beberapa saat kami saling menikmati kenikmatan itu. darahku seakan berhenti mengalir seperti ada hawa panas yang menggantikan aliran darahku. Seluruh persendian terasa tegang, tapi kemudian seperti ada rasa kepuasan yang tak bisa terucapkan.
Hingga kemudian aku mencabut kembali batang penisku dari pussy Rini. Gadis itu kembali terlentang di lantai kamar hotel. Sedang aku segera menghempaskan tubuhku di atas kasur. Dinginnya lantai kamar yang menyentuh jemari kakiku tak bisa mengalahkan panasnya suasana kamar itu. Bau keringat kami berbaur.
Namun tiba-tiba batang penisku yang sudah mulai mengendur tersentuh kulit halus wanita. Ketika aku mendongakkan wajah ternyata Rini yang telah duduk di depan kakiku sambil mengelus-elus batang penisku.
“Den, kamu hebat banget. Aku benar-benar puas.”
“Ehng.. kamu juga. Sekarang kamu mau minta apa??”
Gadis itu masih diam sambil terus mempermainkan batang penisku. Gawat, bisa-bisa bangun lagi batang penisku. Bisa perang lagi nih, dobel dong tarifnya.
“Kamu minta apa? HP? Duit?”
“Aku minta.. minta lagi deh,” Kata Rini yang kemudian kembali mengenyot batang penisku.
“Waduh, bisa-bisa lembur nih!”, pikirku.
hangatnya kini menyentuh-nyentuh dan mengendus di leher kiriku, membuatku memiringkan kepala ke kanan dan agak terpejam karena tersengat-sengat rasa geli.
“Mmmh… hey… uhh… Boss, kita lagi ada di… ngggh… tempat umum nihhhh!” rintihku pelan berusaha mengingatkannya.
“So what?” bisiknya di dekat telingaku, yang disambungnya dengan mengulum daun telinga kiriku, membuatku terpejam dan mulutku menganga menahan rasa geli yang begitu nikmat ini.
“Uhhh… D-Dittt… uhhh… jangan d-d-dissini donggg… uhhh… n-not now!”
“Ehggg!!!” aku memekik tertahan dan tubuhku terjingkat ketika tiba-tiba kedua telapak tangan D menyusup ke balik blazer dan meremas kedua payudaraku.
“Sass…” bisiknya lembut di telingaku.
“Mmmhh… iyahhh?” jawabku lirih.
“Agak geser ke kiri dikit biar nggak kelihatan orang.”
Sebenarnya aku rikuh karena kuatir ketahuan, tapi jemari D yang teliti itu berhasil menangkap kedua puting susuku dari balik kamisol yang kukenakan, membuat seluruh tenagaku seperti tiba-tiba hilang dan tubuhku serasa begitu lemas, hingga aku merasa tak punya pilihan selain bergeser ke kiri, dan posisi kami tertutup oleh dinding yang kini berada di depan mataku.
Di balik dinding itu juga, D membuatku menyandar di dada bidangnya sambil membiarkan kedua tangan D menyelinap ke balik kamisol dan melepaskan kaitan bra sportku yang ada di bagian depan… sampai akhirnya kehangatan kedua telapak tangan besarnya menyelimuti seluruh permukaan kedua payudaraku yang mungil ini sambil memijat-mijat pelan. Telapak tangannya yang kasar itu kini bergesekan dengan kedua puting susuku… memberiku rasa rileks dan lemas serta geli yang luar biasa. Harus kuakui, saat itu aku benar-benar terangsang hebat sampai kewanitaanku terasa melembab. Kupejamkan mata menikmati belaian-belaian lembutnya yang menerpa kedua titik paling sensitif itu… terasa semakin lemas badanku… kubuka sedikit mataku… semakin lincah pula gerakan jemari D di situ… sejenak dilepaskannya, memberiku waktu menarik nafas, namun tidak terlalu lama, karena ia segera membalikkan badanku mengadap ke arahnya, dan mencium serta menjilati leherku yang panjang ini… uuh… terasa hangat dan mesra sekali gerakan lidah yang lembut, licin, dan lembab itu menyapu-nyapu leherku.
Telapak-telapak tangan besar itu kini bergeser di pinggangku… menjamah punggungku dan menyangganya agar aku tidak terjengkang ke belakang. Lidah dan bibir yang hangat dan lembab itu kini seperti berputar-putar pada kain tipis kamisol yang kukenakan… berputar-putar di atas puting susu kananku… aduhhh… tiap gesekan kain basah yang terdorong-dorong oleh lidah lembut itu memberiku sensasi yang sulit kulukiskan. Meski mencoba membuka mata, tetap saja alisku tak kuasa berada dalam posisi santai, mereka terus mengerenyit ke tengah menahan rangsangan birahi yang semakin menggelegak. Pandanganku yang tadinya jelas kini mengabur karena mataku menyipit hingga bulu mataku menghalangi pandangan… sementara mulutku seperti tak sempat mendesah karena untuk menarik nafas agak panjang saja selalu tersendat setiap kali sapuan lidahnya menggeser pada puting-puting susuku.
Kakiku tak lagi mampu menahan tubuhku. Keduanya terasa gemetar dan tidak menjejak tanah. D menyandarkan aku ke dinding dan menghimpitkan tubuh besarnya ke tubuhku. Puting-putingku yang telah mengacung tinggi seperti tertekan oleh otot-otot dadanya yang tersembunyi di balik kemeja itu, bibir-bibir kami yang telah basah ini kembali beradu. Kedua lenganku mendekap lehernya erat-erat, aku tak ingin melepaskannya kali ini, benar-benar tidak ingin. Kami berciuman dengan amat buas dan liar, diiringi dengan pagutan dan hisapan keras, dan kedua pasang mata kami terbuka, saling menatap. Tajamnya sorot mata yang kini tak lagi terlindung kacamata itu makin membuat birahi dalam dadaku terasa menyesakkan… mata itu… mata itu seperti menusuk dan mengaduk-aduk perasaanku yang sudah terlanjur dipenuhi nafsu. Jemarinya bergerak lagi, cepat sekali, kali ini di bawah pusarku…dan kurang dari tiga detik, jeans Armani yang kukenakan telah turun hingga ke lutut.
Meski kedua kakiku terkatup rapat, tidak sulit bagi jemarinya untuk menerobos ke balik celana dalam St.Michael yang kukenakan, mengelus-elus sejenak rambut-rambut halus yang tumbuh di bawah perutku… lalu melesak ke tengah, lebih ke dalam, jepitan kedua pangkal pahaku tak mampu menghalangi jari tengahnya menyentuh pangkal bibir kewanitaanku.
“Ehgggg….” aku menjerit tertahan ketika tubuhku tersentak oleh rasa nikmat yang tiba-tiba menyambar kewanitaanku.
Jari itu tidak tinggal diam disitu, ia berputar dan bergerak-gerak… cairan pelumas yang sudah sejak tadi mengalir di situ seolah-olah hendak dioleskannya rata ke permukaan bibir kewanitaanku yang kini menguncup karena jepitan pahaku.
“Ohhh…. D-D-Diitttt…. j-j-jangan disiniiiihhhhh… hhhhhh…” pintaku memelas.
“Sass, relax. I dont wanna make luv wiz ya rite here, lady! I just wanna give ya sumthin’ to rememba! Just enjoy!” cerocosnya sambil menjilati telinga kiriku.
Dengan agak susah payah, aku berhasil merenggangkan sedikit kedua pahaku meski celana Armani ketat itu masih memborgol kedua lutut ini. Kurasakan jari tengah dan jari telunjuk pria itu menekan kuat pada ujung atas bibir kewanitaanku, dan didorongnya ke bawah… ughhh… kedua jari besar itu bergerak-gerak di pangkal terowongan kewanitaan yang kini makin lembab dan tergenang lendir pelumas hingga terdengar suara kecipak… aduhhh… rasanya tak tertahankan, geli, nikmat, dan penasaran berkecamuk di kepalaku, makin erat kutarik lehernya hingga bibir kami makin rapat bertautan. Dijejalkannya lidahnya ke dalam rongga mulutku, dan dijilatinya langit-langit di situ, aku kegelian dan berusaha untuk berontak, namun tidak semudah itu, karena pada saat itu juga kedua jarinya yang besar dan kasar itu menerobos masuk!
“Unggghghhhhhh….” aku mengerang lirih ketika kedua jari itu terbenam ke dalam tubuhku.
Dilepaskannya kuluman pada bibirku, ditatapnya mataku tajam-tajam dengan tanpa ekpresi. Aku berusaha membalas tatapan tajamnya itu, namun sulit sekali karena mataku menyipit-nyipit menahan rasa nikmat pada kewanitaanku. Apalagi ketika kedua jarinya itu berpencar di dalam, dan bergerak-gerak sendiri-sendiri…
“Oohhhhh….” aku tak mampu lagi membuka mata dan mempertahankan ekspresi datar.
Kedua mataku tertutup rapat dan kedua alis mataku seperti dipaksa untuk berkumpul di keningku, gigiku terkatup rapat sementara bibirku setengah terbuka. Aku mendesah-desah menghayati permainannya yang membuat badanku seperti kehilangan tulang belulangnya, lemas.
Sambil tetap memainkan jemarinya dalam kewanitaanku, ia membungkuk dan mulutnya menangkap puting susu kiriku yang tersembunyi di balik kamisol yang kukenakan. Aku menggeliat dan menggelinjang sekuatku untuk menahan rasa geli dan birahi yang dikirimkannya secara intens ini. Kedua jarinya seperti mengaduk-ngaduk isi kewanitaanku, kedua bibirnya menjepit dan menarik-narik puting susuku dengan tak kalah cepatnya. Semuanya membuatku seperti lupa daratan, lupa bahwa aku sedang berada di gedung sekolah tempatku belajar di SMA dulu, lupa bahwa tiap saat bisa saja ada seseorang yang muncul dan melihat kami berdua melakukan itu, lupa segala-galanya. Yang terpikir hanya bagaimana agar kehangatan tubuhnya tetap menempel pada tubuhku selamanya.
Ia terus saja mengocok-ngocok cairan di dalam kewanitaanku dengan kedua jarinya yang lincah, sementara kini aku tersandar di dinding hanya berpegangan pada bahunya yang keras itu. Kubiarkan saja ketika gigi-giginya menggigit kerah blazerku yang kanan dan melorotkannya ke bawah. Bahuku terasa dingin diterpa angin malam, namun segera diselimuti kehangatan ketika ia mengoles-ngoleskan lidahnya di situ, merambati leher dan pundakku, menggigit tali kamisolku dan melorotkannya juga, hingga aku merasa begitu seksi berada di hadapannya dalam kondisi seperti ini. Tangan kirinya yang sedari tadi menyangga berdiriku terlepas dari punggungku, dan berpindah pada puting kananku, dipilinnya, dijentik-jentikkannya, dan dicubit-cubitnya puting yang telah membengkak ini. Aku berpegangan erat pada bahunya agar tidak jatuh karena kehilangan keseimbangan.
“Ohhh… D-d-ditttt…. aduhhhh….” aku mengerang sambil menyebut-nyebutkan nama kekasihku itu. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam hubungan intim dengan pria manapun kecuali dia.
“Hold on, lady.” bisiknya lembut, “You look so great tonite… I luv ya.” bisiknya lagi.
Karena berkali-kali kedua jemarinya itu menyentuh titik yang tepat, dan karena birahiku sudah tak tertahankan sejak tadi, akhirnya aku terlanda gelombang orgasme juga. Tidak terlalu dahsyat memang, karena aku tidak se-rileks jika berada di tempat yang lebih terjaga privacy-nya, namun yang namanya orgasme tetap saja orgasme. Dimanapun kita mengalaminya, tetap saja akan ada detik-detik yang terasa ‘kosong’ saat kesadaran meninggalkan raga kita meski sebentar. Aku sempat mengerang panjang, sebelum terkulai lemah di dinding batako itu. D mencabut kedua jarinya dari tubuhku, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan terdengar suara menghisap. Dikeringkannya kedua jari itu dengan celananya sendiri, dan dipeluknya tubuhku erat-erat. Kutempelkan kepalaku pada dada bidangnya, dan mataku terpejam sejenak, merasakan perasaan hangat dan aman yang selama hidup ini baru dapat diberikan oleh dia.
Agak lama kami berpelukan erat begitu, sampai aku merasa seluruh energi dan kesadaranku pulih kembali. Kubereskan lagi letak celanaku. D membantuku mengancingkan kaitan bra sportku, jari-jarinya menyisir sejenak rambutku yang agak acak-acakan karena ulah kami barusan.
“Kok nggak keliatan warna birunya?” tanyanya mengomentari rambutku.
“Gelap sih. Kalau siang kan kelihatan sedikit.” jawabku singkat, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.
“Nggak balik ke gerombolan angkatanmu?” tanyanya lagi.
“Nanti sajalah.” jawabku cuek, tapi sambil menyandarkan kepala ke bahunya.
“Mm.. sebaiknya kamu segera balik ke sana.” kata D lagi.
“Kenapa emang, Boss?” tanyaku sambil berusaha mempertahankan posisi kepalaku di bahunya.
“Si Bret tampak mencari-cari kamu. Mungkin mau diajak pulang, udah malam.” jawab D lagi.
“Mana sih?” tanyaku sambil menatap jauh ke kerumunan orang di sekitar panggung di tengah lapangan. Tampak kabur karena aku tidak mengenakan kacamata minusku yang memang jarang kupakai di luar jam kerja.
“Aku pulang sama kamu aja.” jawabku singkat.
“Weits! Nggak bisa dong, Bret kan kasihan. Dia sebagai cowok kan bertanggung jawab ngantar kamu sampai di rumah lagi. Kan dia yang jemput.” jawab D, “Nanti aku susul ke apartemen lah, jam satuan.” sambungnya.
Aku tersenyum dan mengecup bibirnya singkat, lalu kembali melangkahkan kaki ke arah kerumunan orang.
Di dalam Kijang EFI silver milik si Bret aku menurunkan sandaran bangku agar posisiku lebih rileks. Kedua telapak tangan kuletakkan di belakang kepala sambil menatap jalanan, membayangkan kejadian bersama D tadi. Bret menghidupkan radio dan terdengar suara Mr.Big melantunkan ‘To Be With You’.
“Nah, finally…” ujar Bret, “Lagu tahun sembilan puluhan awal!”
“Hihihi, emangnya tadi band-nya sampai tahun berapa?” tanyaku.
“Mereka nggak urut mainnya.” jawab Bret, “Mulanya mereka mainin lagu-lagu baru, lantas lagu enam puluhan, tapi pas kamu nggak ada tadi, band-nya mainin New York, New York.”
“Ooo…” jawabku singkat.
Lalu kami terdiam sampai lagu Mr.Big tadi habis.
“Sari…” kata Bret memecah kesunyian.
“Kenapa?” jawabku sambil tetap dengan posisi duduk yang tadi, hanya kini mataku melirik ke arahnya.
“Apa yang diceritakan beberapa orang tentang kamu itu betul?” tanyanya dengan nada diplomatis.
“Tergantung dari apa yang kamu dengar dari mereka.” jawabku tak kalah diplomatis.
“Hm… aku rasa kamu lebih tahu sih.” jawabnya lagi, “Mereka mungkin masih terbawa performance kamu pas di sekolah dulu, sering ganti teman jalan.”
“Emangnya apa yang salah dari berganti-ganti teman jalan?” tanyaku mencoba membelokkan arah percakapan.
“Nggak ada sih.” jawabnya, “Nggak ada sama sekali.”
Suasana sepi lagi, meski dari radio kini terdengar “You’re All I Need” nya White Lion.
“Kamu udah ketemu D tadi ya?” tanyanya di tengah-tengah lagu.
“Kok kamu tahu?” tanyaku balik.
“Nggak apa-apa.” jawabnya, “Dia yang nyuruh aku nelpon kamu tentang acara ini. Dia juga bilang agar aku jemput kamu ke acara ini.”
“Oh? Gitu?” tanyaku agak heran.
“Yup! Dia memang sengaja ngasih kamu kejutan, katanya.” jawab Bret datar,
“Sudah dikasihin belum kejutannya?”
“Hihihi…well…udah kok!” jawabku dengan tawa kecil penuh arti.
Bret tidak menjawab, hanya tersenyum kecil, seolah mengerti apa yang dimaksud.
“He’s a great guy, Sar.” kata Bret dengan nada datar lagi, “Terlepas dari semua gosip tentang petualangannya, dia orang yang baik.”
“Yah… well… begitulah.” jawabku singkat, “Kayaknya kamu tahu banyak tentang kami.” sambungku.
“Kurang lebih begitulah.” jawabnya, “Beberapa waktu lalu, pas kalian pertama kali ketemu, dia banyak tanya ke aku tentang kamu, karena dia tahu kalau aku teman dekatmu dulu.”
“Hahaha! Dasar cowok!” jawabku tertawa geli, “Selalu konspirasi di sana sini!”
Kijang silver itu mulai memasuki halaman apartemenku di daerah timur agak ke selatan kota S.
“Tuh, dia udah di lobby!” kata Bret sambil menunjuk ke arah lobby dimana disitu terlihat sosok “The Big D” sedang berdiri tegak menatap ke arah mobil kami. Di sampingnya tampak seorang satpam yang ukurannya nyaris setengah kali ukuran si D.
Setelah berpamitan dengan Bret dan mengucapkan terimakasih atas tumpangannya, aku mengajak D melihat ke kamar apartemenku yang baru ini, yang belum tertata, dan D berjanji untuk membantu menatanya sebelum dia pulang ke Jakarta minggu depan. Kami mandi bersama lalu pergi tidur. Di atas ranjang kami tidak melakukan apa-apa selain berpelukan sambil ngobrol. Menceritakan teman-teman SMA di masa lalu dimana ternyata banyak dari teman-teman SMA-ku adalah teman SMP si D. Ngobrol tentang bagaimana peran Bret dalam membantu D mendapatkan aku (hehehe, GR nih!). Konyolnya, D juga menceritakan bahwa alasan Bret membantunya adalah karena D pernah membantu Bret mendapatkan calon istrinya yang sekarang (Dasar pria!). Setelah lama ngobrol, akhirnya kami lelah dan sama-sama tertidur. D masih menginap di apartemenku selama seminggu, dan tentu banyak cerita tentang apa yang kulakukan bersamanya di sudut-sudut kamar apartemenku yang baru itu

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.